Oleh : Prof,. DR,. Ulrich Kozok
Prof,. DR,. Ulrich kozok dalam sebuah karangan ilmiahnya yang berjudul “Tanah Pertemuan Raja: Sejarah Pernaskahan Kerinci” menuliskan, bahwa Sang penulis Nītisārasamuccaya atau yang juga dikenal sebagai Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah, Tambo Kerinci (TK 214) disebut dengan nama Kuja Ali.
Kata kuja berasal dari sebutan Khoja yang di Indonesia digunakan sebagai gelar untuk merujuk pada orang Islam dari Asia Barat Daya. Di dalam kamus bahasa Melayu terdapat lema koja yang berarti ‘orang Islam’ dan juga ‘orang India selain Keling’, dan di dalam belasan hikayat terdapat gelar tersebut, biasanya dengan ejaan khoja dan terkadang juga kodza, tetapi juga dengan ejaan kuja, misalnya di dalam Hikayat Aceh (Teuku Iskandar 1958). Ada pula kue yang berasal dari India yang bernama bolu kuja.
Pada saat naskah Nītisārasamuccaya ditulis, Dharmasraya dan juga Kerinci masih beragama Buddha, tetapi ternyata Paduka Sri Maharaja Dharmasraya sudah memiliki seorang juru tulis yang beragama Islam. Alasan Maharaja Dharmasraya yang kemungkinan identik dengan Adityawarman memilih seorang Islam sebagai juru tulis di dalam kerajaan Buddha, barangkali karena selain aksara Malayu (Sumatera Kuno), Kuja Ali juga menguasai huruf Jawi (Arab Melayu) sehingga ia dapat berkomunikasi dengan dunia luar yang sebagian sudah memeluk agama Islam. Lagi pula, pada saat itu perdagangan di Asia mulai abad ke-9 dikuasai oleh saudagar Islam dari Cina, India, Persia, dan juga dari Jazirah Arab dan Timur Tengah. Mereka datang ke Nusantara untuk mencari rempah-rempah yang dapat dijualnya dengan harga setinggi langit. Tentu saja saudagar Nusantara juga terlibat dalam arus perdagangan tersebut. Tidak lama kemudian para raja Nusantara mulai masuk Islam.
Proses Islamisasi tersebut berlangsung selama kurang lebih 400 tahun, dari abad ke-12 hingga abad ke-16. Kuja Ali bergelar Dipati. Kini, gelar Dipati masih digunakan tetapi dengan perubahan ejaan menjadi Depati. Gelar Dipati atau Depati di dahulu kala sangat umum digunakan di bagian selatan Sumatera, termasuk Bengkulu dan daerah Palembang, dan juga di Jawa, dan bahkan di India dan berbagai negara di Asia Tenggara karena asal muasal gelar itu dari bahasa Sanskerta adhi- (agung) + pati (tuan). Dengan demikian terdapat bentuk Adhipati (अधिपधि) yang berarti ‘tuan besar’ atau ‘pangeran’.
Di Jawa, Adipati adalah gelar kebangsawanan untuk orang yang menjabat sebagai kepala wilayah. Di Kerinci pun, gelar Adipati masih digunakan hingga abad ke-19 dengan arti yang sama dengan Depati. Misalnya dalam TK 86, sebuah surat dari Sultan Inderapura, dapat kita baca: Akan tetapi itu surat bermula dihantar oleh Pemangku Sukarami ke tanah Penawa(r) kepada adipati yang di situ dan dari ta(nah Pe)nawa melainkan dihantar oleh suruhan adipati di situ lalu kepada adipati tanah undang2 dan dari tanah undang2 melainkan disuruh hantar ke tanah Hiang kepada adipati Batu Hampar, karena itu nan berjenjang naik, nang bertangga turun, dan surat serta pedang itu tertinggal di rumah adipati Batu Hampar, karena adipati itu nan memanggil tiga helai kain yaitu adipati Biang Sari, adipati Rencung Talang, adipati Bendahara Langkat Kerinci Renda(h) Kerinci Tinggi. Dan apabila sudah selesai semuanya, maka adipati Batu Hampar berjalanlah ke tanah Rawang manapat di rumah Datuk Cahaya Dipati, sementara rapat berkumpul di Hamparan Besar (Voorhoeve 1941).
Pada saat kitab undang-undang Nītisārasamuccaya ditulis, di kawasan Nusantara belum ada kertas. Tampaknya kertas baru mulai digunakan di zaman Islam seiring dengan kedatangan bangsa Eropa. 223
Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara Vol. 15 No. 2 Tahun 2024