Penulisan sejarah Indonesia selama ini menurut Uli Kozok sering memunculkan interpretasi terhadap sumber-sumber primer yang tidak didukung oleh sumber primer lainnya. Akibatnya, narasi sejarah yang timbul adalah penciptaan atas realita sejarah yang mengorbankan kebenaran sejarah. Hal tersebut menjadi faktor munculnya sejarah Nasional Indonesia yang kontroversial. Keadaan tersebut tidak saja terjadi pada sejarah modern Indonesia tetapi juga pada sejarah awal Indonesia.
Dalam era desentralisasi saat ini, menurut pengajar di Universitas Hawaii itu sebaiknya adalah melakukan pendekatan historiografi yang berlandaskan bottom up yakni penulisan sejarah ditingkat lokal dan kemudian dari tingkat lokal tersebut dirumuskan Sejarah Nasional. Jadi akan berbeda dengan kondisi selama ini dimana sejarah nasional cenderung disusun ditingkat nasional yang meniadakan peran daerah. Hal tersebut dikemukakan oleh Uli Kozok dalam ceramah ilmiah : Meruntuhkan Mitos Adityawarman: Tokoh Penting Dalam Sejarah Jawa-Sumatra di Universitas Negeri Medan yang diadakan oleh Pussis-Unimed pada tanggal 09 Maret 2010.
Dalam ceramah tersebut, Uli menunjukkan kelemahan sekaligus dilema yang dihadapi oleh sejarahwan Nasional seperti Slamet Muljana dalam menafsirkan dan menuliskan sejarah Malayu (Sumatra) dan Majapahit (Jawa) khususnya tentang tokoh Adityawarman. Dalam bukunya, Slamet Muljana menuliskan bahwa Adityawarman benar-benar tokoh sejarah, karena namanya tercantum pada pelbagai prasasti di Pulau Jawa dan Sumatra serta dinasti Yuan. Kitap Pararaton 24, 27 menyatakan bahwa Adityawarman adalah putra Dara Jingga dari Tanah Malayu. Demikian pula bahwa pada tahun 1325 pada Dinasti Yuan dinyatakan bahwa utusan Jawa bernama Seng-kia-lia-yulan berpangkat menteri, datang di istana kaisar. Ironisnya, nama Seng-kia-lia-yulan diidentifikasi dengan Adityawarman. Seharusnya penamaan tersebut adalah sebutan gelar Sang Arya yang banyak digunakan dalam pengaruh Hindu-Budha.
Selanjutnya pada tahun 1332 Adityawarman diutus ke Cina dan pada tahun 1330 nama Adityawarman disebut pada prasasti Blitar atau pada prasati tidak bertarik (OJO LXXXIV (D38) serta pada tahun 1343 Adityawarman mengeluarkan prasasti Manjusri di Candi Jago. Selanjutnya Slamet Muljana mengemukakan bahwa pada tahun 1347 Adityawarman mengeluarkan prasasti di Dharmasraya dimana arcanya ditemukan di Sungai Langsat. Tidak lama kemudian, Adityawarman memindahkan kerajaan itu ke Pagaruyung dan terakhir pada tahun 1375, Adityawarman mengirimkan utusan ke Cina. Adityawarman meningggal dan dimakamkan di Kubur Raja, Lima Kaum Sumatra Barat.
Namun menurut Uli, Adityawarman adalah orang Melayu (Sumatra) yang dilahirkan dan dibesarkan di Sumatra dan tidak ada hubungan dengan Raden Wijaya, raja Majapahit. Ibunya bukanlah Dara Jingga seperti yang ditulis dalam sejarah nasional selama ini, karena menurutnya, bila Dara Jingga adalah Ibunya, maka setidaknya Adityawarman menjadi raja pada usia 45-50 tahun adalah kemustahilan apalagi untuk mendirikan dan memimpin sebuah kerajaan di Sumatra yang baru dibentuk. Demikian pula bahwa Adityawarman bukan pendiri kerajaan Malayu tetapi kerajaan itu didirikan oleh Akarendrawarman yang namanya banyak disebut pada berbagai prasasti di Minangkabau seperti prasasti PGR 7 yang menyebutnya sebagai maharajadhiraja, prasati PGR 8 yang dikeluarkan tahun 1316 dan pada prasasti Bandar Bapahat dimana Adityawarman meneruskan pembangunan raja sebelumnya yakni Akarendrawarman. Jadi, sebelum Adityawarman, telah ada dan berdiri kerajaan Malayu di Sumatra yang didirikan oleh Akarendrawarman dan Adityawarman bercita-cita meneruskan pembangunan pendahulunya itu.
Lebih lanjut Uli mengemukakan bahwa berdasakan sumber-sumber primer dan analisis kritis yang dilakukannya terhadap sumber-sumber tersebut, Uli menegaskan bahwa Adityawarman kemungkinan adalah keponakan Akarendrawarman yang lahir antara tahun 1310 dan 1320 di Sumatra dan tidak pernah diutus ke China sebagai duta besar Majapahit. Demikian juga bahwa Adityawarman tidak pernah mendampingi Majapahit untuk menyerang Bali atau Adityawarman ditugasi untuk menaklukkan Sumatra dalam ekspedisi Pamalayu di era Singhasari. Adityawarman sendiri tidak dimakamkan di Makam Kubu Rajo, karena tidak ditemukkanya bukti bahwa Kubu Rajo sebagai makam. Kubu Rajo sendiri adalah kubu atau benteng pertahanan.
Ekspedisi Pamalayu menurut Uli adalah persekutuan (dalam rangka menjalin kerjasama antara Jawa dan Sumatra), dan bukan dalam rangka penaklukan sebagaimana yang disebut dalam sejarah nasional seperti selama ini. Lebih lanjut Uli menegaskan bahwa, Kertanegara (raja Singhasari) terancam oleh pasukan Kubilai Khan dari Mongol akibat menolak membayar upeti ke Tiongkok. Akibat penolakan tersebut, posisi Singhasari semakin terancam dan takut bila diserang oleh pasukan Mongol. Demikian pula bahwa hubungan antara Jawa dan Sumatra tersebut tidak menunjukkan bawahan dan atasan dimana raja-raja di Sumatra disebut sebagai vasal dari raja Jawa sehingga memungkinkan untuk menyerang kerajaan Jawa ini. Atas dasar itu, Kertanegara menyadari bahwa posisisnya kian terancam, maka ia membentuk persekutuan dengan kerajaan Melayu yang dikenal dengan ekspedisi Pamalayu. Selanjutnya, prasasti Manjusri yang sekarang berada di kompleks candi Jago meriwayatkan bahwa Adityawarman mendirikan arca di Bhumi Jawa yang berarti bahwa Adityawarman bukan orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Majapahit (Jawa). Tetapi ia lahir dan dibesarkan di Sumatra dan sewaktu muda dikirim ke Majapahit untuk persahabatan Jawa dan Sumatra.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa penggunaan istilah Maharaja dan Maharajadiraja telah menegaskan bahwa tidak ada hubungan taklukan antara Jawa dan Sumatra. Maharaja adalah sebutan atau gelar untuk raja sedang maharajadiraja adalah gelar raja diatas segala raja (king of the king). Adityawarman sendiri telah menggunakan maharajadiraja sama seperti Akarendrawarman yang berarti bahwa kerajaan tersebut adalah berdaulat penuh yang tidak memiliki hubungan dengan Majapahit. Selanjutnya, pada tahun 1293, 1299, 1301 kerajaan Malayu mengirimkan utusan ke Tiongkok dan pada tahun 1295, Kaisar Cina menyuruh Siam untuk tidak menyerang Malayu. Ibu negeri Kerajaan Malayu sendiri menurut Uli adalah berpindah-pindah seperti dari Saruaso, Dhamasraya dan Muara Jambi.
Ichwan Azhari, Kepala Pussis-Unimed mengemukakan bahwa uraian Uli Kozok ini sangat penting terutama untuk meluruskan sejarah Nasional Indonesia. Setidaknya, penelitian Uli ini telah mengilhami pentingnya analisis kritis terhadap sumber-sumber primer sejarah Indonesia yang kerap kali tidak didukung oleh sumber primer lainnya. Dengan paparan Uli ini, Ichwan melanjutkan bahwa kiranya sudah semakin terang tentang sosok Adityawarman yang ternyata lahir dan dibesarkan di Malayu (Sumatra), tidak pernah diutus ke China, tidak menyertai Majapahit dalam penyerangan Bali. Demikian pula bahwa Adityawarman bukan pendiri kerajaan Malayu serta yang paling penting adalah bahwa ekspedisi Pamalayu bukan dalam rangka penaklukan Sumatra tetapi justru untuk mencari persahabatan (persekutuan) antara raja-raja Jawa (Singhasari) dan Raja Sumatra. Hal ini justru kebalikan dari yang selama ini diketahui dalam sejarah Nasional kita. Akan tetapi, Ichwan menyayangkan mengapa justru yang melakukan koreksi terhadap sejarah Indonesia paling banyak dilakukan oleh orang luar Indoensia?. Kemana sejarahwan Indonesia, tanyanya ?.
Penulis : Erond L. Damanik (Peneliti Pussis-Unimed)
Sumber Berita : Ceramah Prof. Uli Kozok di Universitas Negeri Medan