Oleh : Zikri Ramadhan (Mahasiswa Ilmu Politik UNJA)
Porosjambimedia.com,Jambi – Demokrasi di Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan, di mana pengaruh elite politik semakin terlihat dominan dalam menentukan arah kebijakan dan aturan yang seharusnya dijaga untuk kepentingan rakyat. Beberapa perkembangan politik terkini, seperti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia calon wakil presiden, campur tangan Presiden Jokowi dalam proses pemilu, serta gugatan yang diajukan PDIP terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU), menunjukkan bahwa elite politik memiliki kecenderungan merusak demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah.
Pertama, keputusan MK yang meloloskan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka melalui pengubahan batas usia memicu kekhawatiran bahwa aturan hukum bisa diubah demi memenuhi ambisi politik pribadi atau kelompok tertentu. Langkah ini menimbulkan pertanyaan serius tentang netralitas institusi hukum di Indonesia. MK, yang seharusnya menjaga konstitusi dan memastikan prinsip keadilan berlaku secara merata, justru terlihat sebagai alat untuk memenuhi kepentingan politik segelintir orang. Batas usia bagi calon presiden dan wakil presiden bukan sekadar soal teknis, tetapi simbol dari upaya menjaga kelayakan dan keseimbangan dalam pemilu. Ketika aturan ini diubah demi satu individu, kredibilitas demokrasi kita pun terancam.
Kedua, intervensi Presiden Jokowi dalam proses pemilu, yang sering disebut sebagai “cawe-cawe,” memperburuk situasi. Sebagai kepala negara, Jokowi seharusnya berperan sebagai penjaga netralitas dan memastikan bahwa pemilu berjalan adil dan tanpa tekanan politik. Namun, tindakan-tindakan yang dinilai sebagai upaya mendukung pencalonan Gibran, yang notabene adalah putranya, memperlihatkan adanya konflik kepentingan yang besar. Campur tangan seorang presiden dalam pemilu bisa merusak tatanan demokrasi, karena membuka ruang bagi politisasi lembaga negara dan memperlemah mekanisme checks and balances. Demokrasi yang sehat memerlukan keterpisahan antara kekuasaan eksekutif dan proses politik, namun dalam kasus ini, garis tersebut menjadi kabur.
Ketiga, gugatan PDIP terhadap KPU atas pencalonan Gibran semakin menunjukkan betapa elite politik di Indonesia tidak segan-segan menggunakan jalur hukum untuk mencapai tujuan politik mereka. PDIP menuduh KPU melakukan pembiaran terhadap aturan yang dianggap tidak sesuai dengan pencalonan Gibran, dan kini meminta pengadilan untuk menunda penetapan hasil pemilu. Gugatan ini menjadi tanda bahwa perdebatan hukum dalam politik Indonesia sering kali lebih berfokus pada kepentingan partai atau individu, bukan demi memperkuat institusi demokrasi itu sendiri. Alih-alih memperbaiki sistem yang ada, elite politik justru memanfaatkan celah-celah hukum untuk mendukung agenda masing-masing.
Fenomena ini secara keseluruhan menunjukkan betapa elite politik Indonesia tidak segan-segan merusak demokrasi demi keuntungan politik. Mereka memanipulasi aturan, memengaruhi institusi, dan mengintervensi proses politik yang seharusnya bebas dari tekanan. Jika praktik-praktik semacam ini terus dibiarkan, demokrasi di Indonesia bisa semakin terkikis, menjadi sekadar formalitas tanpa substansi. Rakyat akan kehilangan kepercayaan pada institusi-institusi demokrasi yang seharusnya menjaga keadilan dan integritas pemilu.
Keberlanjutan demokrasi yang sehat memerlukan elite politik yang bertanggung jawab, yang mau menempatkan kepentingan publik di atas ambisi pribadi. Tanpa ini, demokrasi Indonesia akan terus digerogoti dari dalam oleh mereka yang seharusnya menjadi penjaganya.
Penulis : Zikri Ramadhan (Mahasiswa ilmu Politik Universitas Jambi)
Editor : Hesty