Penulis:Adam Deyant Biharu – Mahasiswa FH UNJA
Porosjambimedia.com,Jambi– Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan uji materi Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang ambang batas pencalonan Presiden, merupakan langkah yang fenomenal dalam dinamika hukum konstitusional Indonesia.
Putusan tersebut menghapuskan ketentuan presidential threshold (PT) yang selama ini diterapkan, yang mensyaratkan partai politik untuk memiliki minimal 20% kursi di parlemen agar dapat mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini memiliki dampak yang signifikan terhadap sistem politik dan demokrasi di Indonesia, terutama berkaitan dengan hak politik rakyat, prinsip kedaulatan rakyat, dan keadilan pemilu.
Putusan MK yang menyatakan inkonstitusionalitas Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 pada dasarnya berlandaskan pada pertimbangan bahwa presidential threshold yang ditetapkan selama ini bertentangan dengan hak politik rakyat dan prinsip kedaulatan rakyat, serta menunjukkan ketidakadilan. MK menilai bahwa dengan adanya ambang batas pencalonan Presiden, hak setiap partai politik dan warga negara untuk mengusung calon Presiden menjadi terhalang, terutama bagi partai-partai yang tidak memiliki cukup kursi di parlemen. Dengan demikian, MK berpandangan bahwa hal ini dapat merugikan proses demokrasi, karena rakyat tidak dapat secara langsung memilih calon Presiden yang diinginkan.
Penting untuk dicatat bahwa MK tidak hanya menghapuskan ambang batas pencalonan Presiden tersebut, tetapi juga menekankan pada nilai-nilai moralitas dan rasionalitas dalam berpolitik. Putusan ini mencerminkan upaya untuk kembali pada prinsip-prinsip dasar demokrasi Indonesia yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yaitu memberikan ruang bagi seluruh partai politik untuk berkompetisi secara setara dalam memilih calon Presiden.
Dengan dihapusnya presidential threshold 20%, maka partai politik yang tidak memiliki cukup kursi di parlemen kini berhak untuk mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini memberikan kesempatan lebih besar bagi partai-partai kecil yang sebelumnya terkendala untuk maju dalam pemilihan Presiden. Secara teori, putusan ini seharusnya memperkuat representasi politik karena memberikan lebih banyak pilihan kepada rakyat. Setiap partai yang memperoleh suara rakyat dapat secara langsung mengajukan calon Presiden, tanpa dibatasi oleh pengaturan jumlah kursi di parlemen.
Namun, keputusan ini juga berpotensi menimbulkan dinamika baru dalam perpolitikan Indonesia, yaitu munculnya banyak calon Presiden yang dapat meramaikan kontestasi Pemilu. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah jumlah calon Presiden yang terlalu banyak dapat menurunkan kualitas kontestasi atau malah memperkaya proses demokrasi.
Selain itu, meskipun ambang batas presidential threshold dihapus, partai politik masih diberi kebebasan untuk membentuk koalisi guna mencapai tujuan bersama. Namun, dengan adanya putusan MK ini, koalisi partai tidak lagi dipaksakan oleh adanya ambang batas kursi di parlemen. Oleh karena itu, meskipun koalisi partai masih relevan, prinsip koalisi ini akan bergeser menjadi lebih fleksibel dan berbasis pada kesamaan visi, misi, dan program politik.
Di sisi lain, putusan MK memberikan beberapa pesan yang perlu diselesaikan agar implikasi hukum dan politik dari putusan tersebut dapat berjalan dengan lancar dan berkelanjutan.
Pertama, putusan MK ini mengharuskan dilakukan revisi terhadap UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu agar sejalan dengan putusan yang menghapuskan presidential threshold. Revisi ini diperlukan untuk menyesuaikan ketentuan teknis mengenai pencalonan Presiden, baik terkait dengan prosedur administrasi pencalonan, verifikasi, maupun syarat dukungan partai politik.
Kedua, dihapusnya presidential threshold juga berarti ada potensi munculnya terlalu banyak calon Presiden dalam Pemilu. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan sistem electoral yang dapat mengatur jumlah calon Presiden secara lebih rasional. Misalnya, dengan pengaturan sistem pemilihan yang memungkinkan seleksi calon Presiden yang lebih selektif dan menghindari adanya kandidat yang tidak memiliki basis dukungan yang cukup.
Ketiga, meskipun koalisi tidak lagi dibatasi oleh ambang batas kursi, tetap penting untuk mengatur batasan maksimal jumlah koalisi yang dapat terbentuk agar tidak terjadi koalisi gemuk yang tidak efisien atau justru merusak prinsip kompetisi yang sehat. Pembatasan ini penting agar koalisi tetap memiliki kekuatan politik yang representatif dan tidak mengganggu keseimbangan demokrasi.
Keempat, partai politik harus lebih selektif dalam memilih figur calon Presiden yang memiliki kapabilitas dan integritas untuk mengelola negara. Pasca putusan MK ini, setiap partai politik dapat mengusung calon Presiden, namun hal ini tidak serta merta berarti setiap partai harus berlomba-lomba mengajukan calon, apalagi jika calon tersebut tidak memiliki kualitas yang mumpuni. Oleh karena itu, partai politik harus memastikan bahwa calon Presiden yang mereka usung benar-benar mampu memenangkan kepercayaan rakyat dan memimpin negara dengan bijaksana.
Oleh karena itu, putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapuskan presidential threshold 20% merupakan langkah penting dalam memperkuat demokrasi Indonesia, terutama dalam memperluas akses partai politik untuk mencalonkan calon Presiden.
Meskipun demikian, putusan ini seyogyanya diikuti dengan revisi peraturan perundang-undangan, rekayasa electoral, pembatasan koalisi yang ideal, dan efektifitas kader partai politik untuk dicalonkan sebagai calon Presiden. Jika hal tersebut dapat dikelola dengan baik, maka putusan ini akan memperkaya proses demokrasi dan memberi kesempatan lebih luas bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang mereka inginkan.
Penulis : Adam Deyant Biharu - Mahasiswa FH UNJA
Editor : Hesty