Oleh : Adam Deyant Biharu
Mahasiswa FH UNJA
Keberpihakan penguasa kepada salah satu calon tertentu merupakan mimpi buruk yang selalu menghantui pelaksanaan Pemilihan Umum mendatang. Kekuasaan besar di tangan penguasa tentu akan menciptakan pertarungan politik yang tidak berimbang di antara peserta Pemilu, sehingga netralitas pemegang kekuasaan menjadi sebuah keniscayaan yang harus dipastikan. Presiden sebagai salah satu dari cabang kekuasaan negara menjadi organ utama yang harus dipastikan netralitasnya. Karena sistem Presidensial yang diterapkan di Indonesia menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, tentunya mengakibatkan kekuasaan relatif terpusat pada lembaga tersebut. Dapat kita bayangkan apabila Presiden berpihak atau istilah dari Prof. Denny Indrayana yaitu “cawe-cawe” kepada calon tertentu, maka sudah dipastikan kemenangannya. Meskipun banyak organ negara yang harus dipastikan netralitasnya, seperti ASN, TNI, POLRI, dan organ negara lainnya. Namun yang paling esensial tentunya adalah Presiden, jika Presiden netral maka organ di bawahnya dapat dipaksakan untuk netral.
Jika melihat aturan hukum yang ada saat ini, maka Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu sudah cukup tegas megatur agar Pejabat Negara netral dalam kontestasi Pemilu mendatang. Seperti terdapat pada pasal 283 ayat (1) undang-undang tersebut bahwa “Pejabat negara, pejabat stuktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye”. Namun demikian, UU Pemilu tidak melarang Presiden atau Wakil Presiden untuk berpihak ataupun berkampanye memenangkan calon tertentu, seperti yang tercantum dalam pasal 299 ayat (1) UU Pemilu. Hanya saja berdasarkan pasal 304 UU a quo diatur bahwa dalam kampenye tersebut Presiden dilarang memanfaatkan fasilitas negara tertentu.
Terlepas dari aturan hukum di atas, alangkah bijaksananya jika Presiden sebagai pejabat negara tidak terlibat jauh dalam cawe-cawe memenangkan calon tertentu. Ditambah dengan seruan Presiden yang selama ini menyerukan agar KPU, Bawaslu, ASN, TNI, POLRI, dan organ negara lainnya untuk tetap netral dan tidak terlibat dalam kepentingan politik praktis. Netralitas yang diserukan di atas terasa sulit diwujudkan jika Presiden sendiri sebagai pucuk pimpinan sudah tidak netral. Bahkan ketidaknetralan Presiden itu nantinya mungkin akan menjadi alasan ketidaknetralan organ negara yang lainnya. Di sisi lain, sulit rasanya untuk tidak melibatkan fasilitas negara pada saat Presiden melakukan kampanye. Oleh karena itu, untuk menghindari kecurigaan pemanfaatan fasilitas negara hanya untuk memenangkan calon tertentu, maka sangat bijak jika Presiden tetap netral dan tidak berpihak pada siapapun.
Di tengah hiruk-pikuk tensi perpolitikan yang sangat tinggi, disertai prasangka buruk Pemilu curang, maka pernyataan keberpihakan Presiden hanya akan menambah keruh dan gaduhnya suasana kampanye. Oleh karena itu, Presiden harus tetap menjaga netralitas guna memastikan terciptanya Pemilu yang jujur dan adil sebagaimana amanat pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Keberpihakan penguasa kepada salah satu calon tertentu merupakan mimpi buruk yang selalu menghantui pelaksanaan Pemilihan Umum mendatang. Kekuasaan besar di tangan penguasa tentu akan menciptakan pertarungan politik yang tidak berimbang di antara peserta Pemilu, sehingga netralitas pemegang kekuasaan menjadi sebuah keniscayaan yang harus dipastikan. Presiden sebagai salah satu dari cabang kekuasaan negara menjadi organ utama yang harus dipastikan netralitasnya. Karena sistem Presidensial yang diterapkan di Indonesia menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, tentunya mengakibatkan kekuasaan relatif terpusat pada lembaga tersebut. Dapat kita bayangkan apabila Presiden berpihak atau istilah dari Prof. Denny Indrayana yaitu “cawe-cawe” kepada calon tertentu, maka sudah dipastikan kemenangannya. Meskipun banyak organ negara yang harus dipastikan netralitasnya, seperti ASN, TNI, POLRI, dan organ negara lainnya. Namun yang paling esensial tentunya adalah Presiden, jika Presiden netral maka organ di bawahnya dapat dipaksakan untuk netral.
Jika melihat aturan hukum yang ada saat ini, maka Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu sudah cukup tegas megatur agar Pejabat Negara netral dalam kontestasi Pemilu mendatang. Seperti terdapat pada pasal 283 ayat (1) undang-undang tersebut bahwa “Pejabat negara, pejabat stuktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye”. Namun demikian, UU Pemilu tidak melarang Presiden atau Wakil Presiden untuk berpihak ataupun berkampanye memenangkan calon tertentu, seperti yang tercantum dalam pasal 299 ayat (1) UU Pemilu. Hanya saja berdasarkan pasal 304 UU a quo diatur bahwa dalam kampenye tersebut Presiden dilarang memanfaatkan fasilitas negara tertentu.
Terlepas dari aturan hukum di atas, alangkah bijaksananya jika Presiden sebagai pejabat negara tidak terlibat jauh dalam cawe-cawe memenangkan calon tertentu. Ditambah dengan seruan Presiden yang selama ini menyerukan agar KPU, Bawaslu, ASN, TNI, POLRI, dan organ negara lainnya untuk tetap netral dan tidak terlibat dalam kepentingan politik praktis. Netralitas yang diserukan di atas terasa sulit diwujudkan jika Presiden sendiri sebagai pucuk pimpinan sudah tidak netral. Bahkan ketidaknetralan Presiden itu nantinya mungkin akan menjadi alasan ketidaknetralan organ negara yang lainnya. Di sisi lain, sulit rasanya untuk tidak melibatkan fasilitas negara pada saat Presiden melakukan kampanye. Oleh karena itu, untuk menghindari kecurigaan pemanfaatan fasilitas negara hanya untuk memenangkan calon tertentu, maka sangat bijak jika Presiden tetap netral dan tidak berpihak pada siapapun.
Di tengah hiruk-pikuk tensi perpolitikan yang sangat tinggi, disertai prasangka buruk Pemilu curang, maka pernyataan keberpihakan Presiden hanya akan menambah keruh dan gaduhnya suasana kampanye. Oleh karena itu, Presiden harus tetap menjaga netralitas guna memastikan terciptanya Pemilu yang jujur dan adil sebagaimana amanat pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penulis : Adam Deyant Biharu - FH UNJA
Editor : Anda